Jumat, 09 Desember 2011

Makalah Tentang Menyuap Menerima Hadiah Bagi Pejabat

KATA PENGANTAR

Puji syukur dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih, kita panjatkan ke hadirat Ilahi Rabbi, Dzat yang Maha Kuasa, Maha Suci, dan Maha Mengetahui. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhamad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Dalam makalah ini akan membahas tentang Larangan Korupsi dan Kolusi, baik dari larangan menyuap, hadist tentang larangan menyuap, akibat dari suap-menyuap, larangan menerima hadiah, hadist tentang larangan menerima hadiah, dampak dari menerima hadiah tersebut.
Semoga dengan adanya makalah ini, dapat menambah wawasan pemakalah dan pembaca sekalian. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………. 1
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………….. 3
1.Larangan Menyuap ……………………………………………………… 3
2.Larangan Bagi Pejabat Untuk Menerima Hadiah ……5
BAB III PENUTUP…………………………………………………………….. 7
1. Kesimpulan ………………………………………………………………….. 7
2. Saran………………………………………………………………………….. 7
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 8

BAB I
PENDAHULUAN

Mayoritas umat Islam sepakat bahwa hadis adalah merupakan sumber hukum yang sangat penting sebagai pedoman utama ajaran Islam setelah al-Qur’an. Dengan kata lain bahwa, al-qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang pertama, sedangkan hadis Nabi saw. adalah merupakan sumber ajaran Islam yang kedua. Hal ini sebagaimana di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hasyr : 7 ; ا
“ Apa yang di berikan rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang di larangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”.

Berdasarkan petunjuk ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa untuk mengetahui petunjuk hukum yang benar dalam ajaran Islam, di samping harus berpegang teguh pada al-Qur’an juga harus berpegang teguh pada hadis Nabi Saw. Dalam hal ini Nabi saw. sendiri telah menginformasikan kepada umatnya bahwa, di samping al-Qur’an masih terdapat satu pedoman yang sejenis dengan al-Qur’an, yakni al-hadis. Sebagaimana sabdanya mengatakan: “ Wahai Umatku, sungguh aku telah di beri al-Qur’an dan yang menyamainya”. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Turmuziy ).

Jadi tidak di ragukan lagi bahwa yang di maksud dengan “menyamai” atau semisal al-Qur’an dalam matan hadis di atas adalah hadis Nabi saw. Mengingat peran hadis yang begitu penting sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an, mengharuskan adanya penelitian yang mendalam sebagai upaya menjaga kualitas kemurnian, keotentikan, dan kesahihannya. Sehingga secara legal hadis-hadis yang telah terseleksi keotentikannya dapat di pertanggung jawabkan sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Langkah penelitian terhadap kualitas hadis menjadi sangat penting, mengingat bahwa latar belakang sejarah penghimpunan hadis baru terjadi pada akhir tahun 100 H. (awal akhir abad ke II H.), atas perintah Khalifah Umar Ibn ‘Abd al-Azis yang memerintah sekitar tahun 717-720 M.

Dengan melihat jauhnya jarak antara masa kehidupan Nabi saw. dengan masa perhimpunan hadis-hadis tersebut, tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai manipulasi, pemalsuan, dan penyimpangan terhadap matan hadis dan lain sebagainya. Sehingga menyebabkan kualitas hadis menjadi berbagai macam bentuknya, ada yang di anggap sahih, hasan maupun da’if. Perlu di jelaskan di sini bahwa terjadinya kualitas hadis hasan adalah merupakan pecahan dari kualitas hadis da’if yang di pergunakan sebelum masanya al-Turmuziy.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka adanya usaha penelitian penelusuran terhadap hadis-hadis yang di pergunakan untuk menetapkan hukum, terutama yang berhubungan dengan masalah : Larangan menerima hadiah bagi para pejabat dalam melaksanakan tugasnya, tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan pernyataan kualitas hadis yang berbagai macam. Apakah hadis –hadis yang di jadikan sebagai landasan hukum tersebut berkualitas sahih, hasan ataupun da’if. Oleh karena itu untuk menggunakan kapasitas sebuah hadis dalam kualifikasi sahih, hasan atau da’if, tidak bisa tidak kecuali harus melakukan verifikasi melalui penelitian baik terhadap sanad maupun terhadap matan hadis. Dimana proses ini merupakan upaya untuk memastikan paling tidak menduga secara kuat bahwa, hadis-hadis di maksud benar-benar berasal dari Nabi saw. sehingga secara otentik bisa menjadi hujjah bagi penetapan hukum dalam Islam sekaligus dapat di pertanggung jawabkan kevaliditasannya.

BAB II
Larangan Korupsi dan Kolusi

1. Larangan Menyuap
Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainnya kepada petugas hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau mendapat hukuman ringan. Perbuatan seperti itu sangat dilarang dalam islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh melalui jalan batil. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, (janganlah kamu) membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian pada harta benda orang lain dengan (jalan) berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah: 188).
Suap-menyuap sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat karena merusak berbagai tatanan atas system yang ada di masyarakat dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan hukum sehingga hukum dapat dipermainkan dengan uang. Akibatnya, terjadi kekacauan dan ketidakadilan. Dengan suap, banyak para pelanggar hukum yang seharusnya diberi hukumanberat justru mendapat hukuman ringan bahkan lolos dari jeratan hukum atau sebaliknya. Bagaimanapun juga, seorang hakim yang telah mendapatkan uang suap tidak mungkin dapat berbuat adil. Ia akan membolak-balikan supremasi hukum. Apalagi kalau perundang-undangan yang digunakannya merupakan hasil perbuatan manusia, maka mudah sekali baginya untuk mengutak-atiknya sesuai dengan kehendaknya. Kalau kejadian tersebut terus berlangsung, maka lama-kelamaan masyarakat terutama golongan kecil tidak akan percaya lagi kepada penegak hukum karena selalu menjadi pihak yang dirugikan. Mak demikian, hukum riba yang akan berlaku.
Islam melarang perbuatan menyuap, bahkan menggolongkan sebagai salah satu dosa besar, yang dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena perbuatan tersebut tidak hanya melecehkan hukum, tetapi lebih jauh lagi melecehkan hak seseorang untuk mendapatkan perlakuan yang sama didepan hukum. Oleh karena itu, seorang hakim hendaklah tidak menerima pemberian apapun dari pihak manapun selain gajinya sebagai hakim.
Untuk mengurangi perbuatan suap-menyuap dalam masalah hukum, jabatan seorang hakim harus diberikan kepada mereka yang berkecukupan daripada dijabat oleh mereka yang hidupnya serba kekurangan karena kemiskinan seorang hakim akan mudah membawa dirinya untuk berusaha mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.
Sebenarnya, suap-menyuap tidak hanya dilarang dalam masalah hukum saja tetapi dalam berbagai aktivitas dan kegiatan. Dalam beberapa hadis lainnya, suap-menyuap tidak dikhususkan terhadap masalah hukum tetapi bersifat umum seperti yang di jelaskan dalam hadist Turmudzi berikut ini:
“Abu Hurairah r.a berkata, “Rasulullah SAW melaknat penyuap dan yang diberi suap dalam urusan hukum.” (H.R Turmudzi).
Contohnya dalam penerimaan tenaga kerja. Jika didasarkan pada besarnya uang suap, bukan pada profesionalisme dan kemampuan, hal ini diyakini akan merusak kualitas dan mampu melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Dengan demikian, kapan dan dimana saja, suap akan menyebabkan kerugian bagi masyarakat. Dengan kata lain, Islam membuat larangan untuk tidak melakukan suap agar manusia terhindar dari kerusakan dan kebinasaan di dunia dan siksa Allah di akhirat kelak.

2. Larangan Bagi Pejabat Untuk Menerima Hadiah.
Dalam Islam, hadiah dianggap sebagai salah satu cara untuk lebih merekatkan persaudaraan atau persahabatan, sebagai mana yang telah disebutkan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Iman Malik dalam kitab Muwatha dari Al-Khurasany:
“Saling bersalaman kamu semua, niscaya akamn menghilangkan kedengkian, saling memberi hadiahlah kamu semua, niscaya akan saling mencintai dan menghilangkan percekcokan.” (H.R Imam Malik).
Bagi orang yang diberi hadiah, disunahkan untuk menerimanya meskipun hadiah tersebut keliatannya hina dan tidak berguna. Nabi bersabda:
“Dari Anas r.a, bahwa Nabi SAW bersabda,”Kalau saya diberi hadiah keledai, pasti akan saya terima.” (H.R Turmudzi).
Pada dasarnya, memberikan hadiah kepada orang lain sangat baik dan dianjurkan untuk lebih meningkatkan rasa saling mencintai. Begitu pula bagi yang diberi hadiah disunahkan untuk menerimanya.
Akan tetapi, Islam pun memberi rambu-rambu tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun penerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah. Contohnya seseorang pejabat atau seseorang pemegang kekuasaan. Hal itu dianjurkan untuk kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Banyak orang yang ingin sekali mengenal bahkan akrab dengan orang-orang yang terpandang, baik para pejabat maupun orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi lainnya. Mereka menempuh berbagai jalan untuk dapat mendekati orang-orang tersebut dengan cara memberi hadiah kepadanyapadahal pejabat tersebut hidup berkecukupan, bahkan tak pantas untuk diberi hadiah karena masih banyak orang yang membutuhkan hadiah tersebut.
Oleh karena itu, Islam melarang seorang pejabat atau petugas negara dalam posisi apapun untuk menerima atau memperoleh hadiah dari siapapun karena hal itu tidaklah layak dan dapat menimbulkan fitnah. Disamping sudah mendapatkan gaji dari negara, alasan pemberian hadiah tersebut berkat kedudukannya. Bila dia tidak memiliki kedudukan atau jabatan, belum tentu orang-orang tersebut akan memberinya hadiah.
Dengan demikian, hadiah yang diberikan kepada para pejabat apabila sebelumnya tidak biasa terima dinilai sebagai sogokan terselubung. Denagn kata lain, hadiah yang diberikan kepada seorang pejabat sebenarnya bukanlah haknya. Di samping itu, niat orang-orang memberikan hadiah kepada para pejabat, dipastikan tidak terdorong dan didasarkan pada keikhlasan sehingga perbuatan mereka akan sia-sia di hadapan Allah SWT.
Kalau mereka memeng ingin memberi hadiah, mengapa tidak memberikannya kepada mereka yang lebih membutuhkan daripada pejabat tersebut. Jelaslah bahwa mereka menginginkan balas budi dari hadiah yang diberikannya tersebut, antara lain mengharapkan agar pejabat tersebut mengingatnya dan mempermudah berbagai urusannya.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainnya kepada petugas hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau mendapat hukuman ringan. Perbuatan seperti itu sangat dilarang dalam islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh melalui jalan batil.
Suap-menyuap sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat karena merusak berbagai tatanan atas system yang ada di masyarakat dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan hukum sehingga hukum dapat dipermainkan dengan uang.
Dalam Islam, hadiah dianggap sebagai salah satu cara untuk lebih merekatkan persaudaraan atau persahabatan. Bagi orang yang diberi hadiah, disunahkan untuk menerimanya meskipun hadiah tersebut keliatannya hina dan tidak berguna. Akan tetapi, Islam pun memberi rambu-rambu tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun penerimanya.
2. Saran
Dalam pembuatan makalah ini, terdapat kesalahan-kesalahan baik dalam penyajian bahan atau penulisan makalah. Maka dari pada itu, berikan kritik dan saran kepada makalah agar saran dan kritik saudara dapat menjadi referensi dan perbaikan dalam makalah kami. Dari lubuk hati kami paling dalam, kami minta maaf dari Bapak Dosen agar memaafkanya dan memakluminya.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, 1989, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Refisi. Surabaya: Pen. Mahkota.
http://meetabied.wordpress.com/2010/02/20/hadits-tentang-kkn/
http://www.scribd.com/doc/14674018/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar